Dalam sistem hukum pidana Indonesia, keberadaan grasi memiliki posisi yang unik karena merupakan bentuk campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Grasi menjadi instrumen hukum yang berfungsi sebagai koreksi terakhir atas pelaksanaan pidana, khususnya bagi mereka yang telah dijatuhi hukuman berat. Namun, eksistensinya kerap menjadi perdebatan antara prinsip kepastian hukum dan keadilan substantif.
Pengertian dan Dasar Hukum Grasi
Grasi adalah hak prerogatif Presiden Republik Indonesia untuk memberikan pengampunan terhadap terpidana dalam bentuk:
– Pengurangan hukuman (remisi),
– Perubahan bentuk pidana,
– Penghapusan pidana, atau
– Pembatalan eksekusi pidana.
Eksistensi Grasi dalam Hukum Pidana:
Dalam pandangan hukum pidana, grasi diposisikan sebagai institusi luar yudisial, yang tidak membatalkan putusan pengadilan, melainkan mengubah atau meringankan pelaksanaannya. Artinya, grasi tidak menghapus kesalahan hukum, tetapi mempertimbangkan faktor kemanusiaan, keadilan, dan kebijaksanaan negara.
Grasi mencerminkan prinsip:
– Ultimum remedium: hukum pidana sebagai jalan terakhir;
– Keadilan korektif: ketika putusan hukum tidak lagi mencerminkan rasa keadilan substantif;
– Diskresi konstitusional: wewenang Presiden untuk menyeimbangkan aspek hukum dan moral.
Tujuan dan Fungsi Grasi:
1. Memberi kesempatan kedua kepada terpidana atas dasar pertimbangan kemanusiaan.
2. Mengoreksi potensi kekeliruan dalam peradilan pidana, meskipun telah berkekuatan hukum tetap.
3. Membuka ruang bagi keadilan restoratif dan pemulihan sosial, terutama jika terpidana menunjukkan perubahan sikap yang positif.
Kontroversi dan Tantangan:
1. Berpotensi mengganggu independensi kekuasaan kehakiman
– Grasi yang diberikan tanpa alasan kuat dapat merusak kredibilitas sistem peradilan.
2. Grasi bermuatan politik
– Dalam beberapa kasus, grasi diberikan pada tokoh politik atau pejabat, menimbulkan kesan bahwa grasi adalah alat kekuasaan.
3. Kurangnya transparansi
– Masyarakat sering kali tidak mengetahui dasar pertimbangan pemberian grasi, sehingga menimbulkan kecurigaan atau penolakan publik.
Kesimpulan:
Eksistensi grasi dalam hukum pidana memiliki landasan konstitusional yang kuat dan fungsi strategis dalam menjembatani hukum dengan rasa keadilan. Namun, pemberian grasi harus dilakukan secara selektif, transparan, dan objektif, agar tidak menimbulkan benturan dengan prinsip kepastian hukum dan independensi peradilan.