Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara yang berkembang pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi. Berpusat di Sumatera Selatan, terutama di sekitar Palembang, Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan utama di Asia Tenggara dan menjadi pusat penyebaran agama Buddha. Dengan kekuatan maritimnya, Sriwijaya menguasai berbagai wilayah di sekitar Selat Malaka, Selat Sunda, bahkan hingga Semenanjung Malaya dan sebagian kepulauan Nusantara.
Awal Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya diperkirakan berdiri sekitar abad ke-7 Masehi, dengan bukti sejarah yang pertama kali ditemukan dalam prasasti Kedukan Bukit yang bertahun 683 M. Prasasti ini menggambarkan perjalanan seorang raja bernama Dapunta Hyang, yang diyakini sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang melakukan ekspedisi besar dengan ribuan prajurit, dan ekspedisi ini dianggap sebagai langkah awal dalam membangun kemaharajaan maritim yang kuat.
Nama “Sriwijaya” berasal dari bahasa Sanskerta: “Sri” yang berarti “bercahaya” atau “makmur” dan “Wijaya” yang berarti “kemenangan.” Nama ini mencerminkan ambisi kerajaan untuk menjadi kekuatan besar yang dihormati dan ditakuti di perairan Nusantara.
Kebesaran Sriwijaya sebagai Pusat Maritim dan Perdagangan
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada laut kuat untuk mengendalikan jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Lokasi Sriwijaya yang strategis di sepanjang jalur perdagangan antara India dan Cina menjadikannya sebagai penguasa penting di Selat Malaka, yang merupakan jalur utama perdagangan internasional pada masa itu. Kerajaan ini mengendalikan lalu lintas perdagangan rempah-rempah, emas, dan barang-barang berharga lainnya yang didatangkan dari Nusantara dan Asia lainnya.
Sriwijaya menjalin hubungan dagang dengan berbagai kerajaan di Asia, seperti Cina, India, dan Arab. Hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Cina, misalnya, tercatat dalam berbagai sumber sejarah Cina, yang menyebut Sriwijaya sebagai kerajaan yang kaya dan kuat. Kerajaan ini juga menerima pajak dari kapal-kapal yang melewati perairannya, yang memperkuat kekayaannya dan memungkinkan Sriwijaya untuk membangun infrastruktur serta pusat-pusat pendidikan agama.
Sriwijaya sebagai Pusat Penyebaran Agama Buddha
Kerajaan Sriwijaya juga terkenal sebagai pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. Raja-raja Sriwijaya mendukung perkembangan agama Buddha, dan kerajaan ini menjadi tujuan utama bagi para peziarah dan pelajar Buddha dari seluruh Asia. Sejumlah prasasti menunjukkan adanya biara dan pusat pembelajaran Buddha di Sriwijaya yang menjadi tujuan bagi para biksu dari luar, termasuk dari Cina dan India.
Catatan terkenal tentang Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha datang dari I-Tsing, seorang biksu asal Cina yang melakukan perjalanan ke Sriwijaya pada abad ke-7. I-Tsing tinggal di Sriwijaya selama beberapa tahun untuk mempelajari bahasa Sansekerta dan ajaran Buddha sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Ia mencatat bahwa Sriwijaya memiliki guru-guru agama yang terpelajar dan sistem pendidikan agama yang baik, serta biara-biara besar yang menarik banyak peziarah.
Kemunduran Sriwijaya
Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9 dan ke-10, tetapi kemudian mulai menghadapi tantangan dari kerajaan-kerajaan lain. Munculnya Kerajaan Chola di India Selatan menjadi ancaman bagi Sriwijaya. Pada tahun 1025, Raja Rajendra Chola I dari Chola melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya dan berhasil merebut beberapa wilayah penting serta menghancurkan pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Serangan ini melemahkan kekuatan Sriwijaya secara signifikan.
Selain ancaman dari Chola, munculnya kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit juga melemahkan dominasi Sriwijaya. Kontrol Sriwijaya atas jalur perdagangan berkurang, dan kerajaan ini akhirnya mulai kehilangan pengaruhnya. Pada abad ke-13, Sriwijaya benar-benar mengalami kemunduran dan posisinya sebagai pusat perdagangan dan agama diambil alih oleh kerajaan-kerajaan baru di Jawa.
Peninggalan dan Warisan Kerajaan Sriwijaya
Meskipun Sriwijaya telah runtuh, warisan kebudayaannya tetap terlihat di Nusantara, terutama dalam bentuk prasasti dan situs-situs arkeologi. Beberapa prasasti yang terkenal dari era Sriwijaya adalah prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuo, dan prasasti Kota Kapur. Prasasti-prasasti ini memberikan gambaran tentang kehidupan politik, agama, dan budaya di Sriwijaya.
Sriwijaya juga meninggalkan warisan dalam bidang agama dan pendidikan Buddha di Asia Tenggara. Pengaruhnya terhadap perkembangan Buddha Mahayana dan Vajrayana tetap tercatat dalam sejarah, dan beberapa situs seperti Candi Muara Takus di Riau dianggap memiliki hubungan dengan era kejayaan Sriwijaya.
Selain itu, kemaharajaan maritim Sriwijaya menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya tentang kejayaan maritim Nusantara. Konsep perdagangan, diplomasi, dan kekuatan maritim yang diterapkan oleh Sriwijaya menjadi model bagi kerajaan-kerajaan berikutnya yang ingin menguasai lautan dan jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Nusantara yang dikenal karena kekuatan maritimnya, kejayaannya dalam perdagangan, dan perannya sebagai pusat agama Buddha. Di bawah pengaruh Sriwijaya, wilayah Nusantara menjadi bagian penting dari jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Cina, India, dan Arab. Meskipun akhirnya runtuh akibat serangan dan persaingan dari kerajaan lain, warisan Sriwijaya dalam hal budaya, agama, dan kemaharajaan maritim tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah gemilang Indonesia dan Asia Tenggara.